Rabu, 18 Mei 2011

Biodata Ringkas Ulama': Sheikh Nawawi Al-Bantani

Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi'i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Syekhasal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta'lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.

        Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai lama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila SYEKHHasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali SYEKHHasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.

Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma'la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum'at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

        Ayahnya bernama Syekh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul 'Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja'far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.

        Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.

        Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan SyekhAbdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti SyekhYusuf Sumbulawini dan SyekhAhmad Nahrawi.

        Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Ulama di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.

        Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A 'yan 'Ulama' al-Qarn aI-Ra M' 'Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid 'Ulama al-Hijaz.

        Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada Syekhagar proses pembelajaran dengan Syekhtidak mengalami kesulitan.

        Bidang Teologi
        Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara konprehenshif-utuh.

        Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy'ari (al-Asyari al-I'tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su'ud.

        Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.

        Kemudian mengenai dalil naqliy dan 'aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.

        Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy'ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenamya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.

        Sayangnya sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam "koloni Jawa".Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.

        Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai "obor" mazhab imam Syafi'i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat a/-Naja, Syarh Sullam a/-Taufiq, Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi'in dan Tasyrih a/a Fathul Qarib,sehingga Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi'i secara sempurna Dan, atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas alAzhar Mesir pemah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.

        Sufi Brilian
        Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami' al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya 'Ulumuddin alGazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.

        Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya (pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan karir dan pengembangan spesialisasi ilmu penegatahuan yg ditekuni serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru2nya. Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangannya terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida'i) seorang sufi, sementara hakikat adalah basil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.

        Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.

        Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.

        Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta'alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat 'alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat 'Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.

        Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).

        Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan "sistem yang durhaka". Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan. bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.

        Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat 'Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
        Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-Iembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi.

        Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.

        Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan wama jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy'ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.

        Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya'ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur'an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya'ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir a/-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik ia tidak mall mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.

        Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Syekhpara pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekhdidikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi.

        Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat alGazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.

Senin, 16 Mei 2011

Can I edit the HTML of my blog's layout? - Blogger Help

Can I edit the HTML of my blog's layout? - Blogger Help

BIODATA Al Habib Muhammad Rizieq Syihab

Nama : Al Habib Muhammad Rizieq Syihab

Lahir : Jakarta, 24 Agustus 1965

Agama : Islam

Ayah : Habib Husein Syihab (almarhum)

Ibu : Syarifah Sidah Alatas

Istri : Fadlun Yahya

Anak :

Rufaidah Syihab
Humaira Syihab
Zulfa Syihab
Najwa Syihab
Muntaz Syihab
Fairuz Syihab
Zahra Syihab

Pendidikan :

SDN 1 Petamburan, Jakarta (1975)
SMP 40 Pejompongan, Jakarta
SMP Kristen Bethel Petamburan, Jakarta (1979)
SMAN 4, Gambir, Jakarta
SMA Islamic Village, Tangerang (1982)
Jurusan Studi Agama Islam (Fikih dan Ushul) King Saud University (S1), Riyadh, Arab Saudi (1990)
Studi Islam, Universitas Antar-Bangsa (S2), Malaysia.
Karir :

Kepsek Madrasah Aliyah Jamiat Kheir, Jakarta
Dewan Syariat BPRS At-Taqwa, Tangerang
Pimpinan/pembina sejumlah majelis ta’lim Jabotabek
Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI)
Alamat Rumah : Jalan Petamburan III/83, Tanahabang, Jakarta Pusat 10260

Alamat Kantor : Jalan Petamburan III/17, Tanahabang, Jakarta Pusat 10260

Website : www.fpi.or.id

BIOGRAFI

Habib Rizieq tidak dididik di pesantren. Namun sejak berusia empat tahun, ia sudah rajin mengaji di masjid-masjid. Ibunya yang sekaligus berperan sebagai bapak dan bekerja sebagai penjahit pakaian serta perias pengantin, sangat memperhatikan pendidikan Habib Rizieq dan satu anaknya yang lain.

Setelah lulus SD, Habib Rizieq masuk ke SMP Pejompongan, Jakarta Pusat. Ternyata jarak sekolah dengan rumahnya di Petamburan, juga di Jakarta Pusat, terlalu jauh. Ia pun kemudian dipindahkan ke sekolah yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya, SMP Kristen Bethel Petamburan. Lulus SMA, Habib Rizieq meneruskan studinya di King Saud University, Arab Saudi, yang diselesaikan dalam waktu empat tahun dengan predikat cum-laude. Habib Rizieq pernah kuliah untuk mengambil S2 di Malaysia, tetapi hanya setahun.

Habib Rizieq mendeklarasikan berdirinya Front Pembela Islam (FPI) tanggal 17 Agustus 1998. FPI mulai dikenal sejak terjadi Peristiwa Ketapang, Jakarta, 22 November 1998, sekitar 200 anggota massa FPI bentrok dengan ratusan preman. Bentrokan bernuansa suku, agama, ras, antargolongan ini mengakibatkan beberapa rumah warga dan rumah ibadah terbakar serta menewaskan sejumlah orang.

Pascatragedi World Trade Center, Habib Rizieq bersama anggota FPI giat melakukan kampenye anti-Amerika dan mengutuk penyerangan Amerika terhadap Afghanistan. Sampai-sampai Habib Rizieq mengajak anak-anaknya, yang semula sangat doyan makanan McDonald dan Kentucky, memboikot produk Amerika. FPI juga melakukan sweeping terhadap warga negeri tersebut. FPI juga giat merazia tempat-tempat hiburan
lebih dari setahun yang lalu · Laporkan

SAYYIDINA AL-IMAM AL-QUTB AL-GHAUTS AS-SYEKH ABDURRAHMAN AS-SEGAFF R.A

Guru guru beliau
As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff banyak mempelajari kitab Syari’ah dan hakekat, sehingga diriwayatkan bahwa beliau telah menguasai sekaligus hafal di luar kepala, lebih kurang 50 jilid buku dalam ilmu Syariah, itu pun belum termasuk tasawuf, tauhid dan prinsip ilmu yang lain. As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff Ra selama masa belajarnya telah dibina oleh tokoh-tokoh terkemuka di zamannya, beberapa di antara guru-guru beliau adalah :
1. Al-‘Alim Al-Allamah Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Sayyidina Al-Faqih Al-Muqaddam Ra. Melalui guru beliau ini, As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff mempelajari kitab karya Al-Imamain Al-Azimain Bil Maqomil ‘Ali Muhammad Al-Ghazali dan Imam Mazhab Bil It-Tifaq As-Syĕkh Abu Ishak, serta kitab Al-Wajiz dan Al-Muhazib serta kitab karya Al-Imam As-Syayrodzy.
2. As-Syĕkh Ali bin Salim.
3. As-Syĕkh Al-Arib Al-Mualim Ahmad bin Muhammad Al-Khatib. Semasa kecil beliau mempelajari dan menghafal Al-Qur`an Al-Karim kepada guru beliau ini.
4. Al-Imam Ali bin Sa`id Basulaib.
5. Al-Imam Abu Bakar bin Isa Bayazid, yang tinggal di Wadi Amad.
6. As-Syĕkh Al-Imam Umar bin Sa`id Bajabir.
7. Al-Arif Billah Ta`ala Mazahim bin Ahmad Bajabir Shohib Barum.
8. Al-Imam Al-Wali Abdullah bin Thohir Ad-Du`ani.
9. Al-Imam Al-Faqih Muhammad bin Sa`ad Basyakil Shohib Al-Fiil. Melalui guru beliau ini, As-Syĕkh Abdurrahman mempelajari kitab Al-Ihya, Ar-Risalah dan Al-Ma`arif serta Al-Awarif.
10. Al-Imam As-Syĕkh Al-Islam Muhammad bin Abu Bakar Ba Ibad.
11. As-Syĕkh Al-Qodhi Muhammad bin Sa`id Kabn.

Beliau tinggal di kota ‘Adn. Sayyidina As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff mendalami ilmu Nahwu dan Shorof juga ilmu bahasa yang lain seperti Mantiq dan lain-lain kepada guru beliau ini.

Murid murid beliau
Banyak di antara murid-murid beliau di kemudian hari menjadi ulama yang termasyhur, termasuk di dalamnya adalah anak-anak dan keponakan beliau serta anak dari guru beliau sendiri. Beberapa di antaranya adalah:
1. Al-Imam Al-Qutb Al-Ghauts As-Syĕkh Al-Kabir AbuBakar bin As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff Al-Masyhur bis “Sakran” dan saudaranya.
2. Al-Imam Al-Qutb Al-Ghauts As-Syĕkh Al-Kabir Umar bin As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff Al-Masyhur bil “Mahdhor”.
3. Al-Arif Billah Abu Bakar bin Alwi As-Syaibaih, dan saudaranya.
4. Al-Imam Asy-Syahir Muhammad bin Alwi.
5. Al-Arif Billah Muhammad bin Hasan Asy-Syahir Bi Jamalullail.
6. Al-Imam Al-Kabir Muhammad Shohib Aidid bin Ali.
7. Al-Arif Billah Ahmad bin Umar Shohib Al-Mushof .
8. An-Nur Al-Muta`ajjat Al-Imam Sa`ad bin Ali Madhaq.
9. As-Syĕkh Muhammad bin Abdurrahman bin As-Syĕkh Muhammad bin Abdurrahman bin Al-Imam As-Syeikh Ali bin Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohibul Wa’al Al-Khotib Al-Anshory, dan anak beliau, penulis kitab “Al-Jauhar As-Syafaf” yaitu :
10. As-Syĕkh Abdurrahman bin Muhammad Al-Khotib.
11. As-Syĕkh Abdurrahim bin Ali Al-Khotib. 12. Syĕkh Ali bin Muhammad Al-Khotib.
dan banyak lagi

Anak anak beliau
Beliau mempunyai delapan orang anak laki-laki dan enam orang anak perempuan, yang merupakan anak-anak yang soleh dan solehah. Setiap anak laki-laki beliau membaca tahlil sebanyak 70.000 kali dan anak perempuan beliau membaca tahlil sebanyak 35.000 kali, yang pahalanya dihadiahkan kepada Imam As-Segaff. Beliau selalu menginfaqkan harta beliau bagi anak-anaknya untuk mereka gunakan di jalan Allah SWT. Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff mendirikan 10 buah masjid dan anak-anak beliau mendirikan 3 masjid. Selain itu beliau juga memberikan wakaf bagi setiap masjid. Sayyidina As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff Ra juga mempunyai banyak kebun kurma di Tarim dan di kota Al-Masfalah dan beliau mem-bacakan surat Yasin bagi setiap pohon kurmanya.

Anak beliau yang perempuan adalah :
1. As-sayyidah Asy-Syarifah Maryam. Saudari sekandung dari As-Syĕkh Abu Bakar As-Sakran, ibu dari Abu Bakar Al-Jufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Sayyidina Al-Faqih Al-Muqaddam.
2. As-sayyidah Asy-Syarifah Fatimah. Saudari sekandung dari Syeikh, ibu dari Muhammad bin Ahmad bin Hasan Al-Wara`.
3. As-Sayyidah Asy-Syarifah Bahiyah. Saudari kandung dari Hasan bin Abdurrahman As-Segaff.
4. As-sayyidah Asy-Syarifah Asma`. Saudari kandung dari Husein bin Abdurrahman As-Segaff.
5. As-sayyidah Asy-Syarifah Aisyah. Ibu dari Abdurrahman Kheilah bin Abdullah bin Alwi Maula Ad-Dawiylayh, ibunda beliau (isteri As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff) berasal dari Bani Haritsah.
6. As-sayyidah Asy-Syarifah Alwiyah As-Saumul Kubro. Ibu dari Maryam binti Umar Syanah, saudara dari Abu Bakar Al-Jufri. Ibunda beliau (isteri As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff) berasal dari ‘Inat.
7. As-sayyidah Asy-Syarifah Alwiyah Al-Qarah As-Sughro. As-Syarifah ‘Alwiyah adalah isteri Muhammad Ar-Rakhilaih bin Umar bin Ali Ba’Umar. Ibunda beliau (isteri As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff) dari Ãl Hamiysi’ As-Syanhajy.

Adapun anak-anak beliau yang laki-laki adalah :
1. Ay-Syĕkh Ahmad. Wafat di Tarim tahun 829 H.
2. As-Syĕkh Muhammad. Wafat di Tarim tahun 820 H.
3. As-Syĕkh Abu Bakar As-Sakran. Wafat di Tarim tahun 821 H.
4. As-Syĕkh Umar Al-Mahdhor. Wafat di Tarim tahun 833 H.
5. As-Sayyid Ali. Wafat tahun 840 H. Ibunda beliau adalah seorang wanita sholeh dari kabilah arab Al-Basyiban yang berasal dari Seiwun.
6. As-Sayyid Alwi. Wafat di Tarim pada tahun 826 H.
7. As-Sayyid Abdullah. Wafat di Tarim tahun 857 H.
8. As-Syĕkh Syeikh. Wafat di Tarim tahun 837 H. Ibunda mereka (Alwi, Abdullah dan Syeikh) ini bernama Fatimah Aisyah bin Yahya Qatiyn.
9. As-Sayyid Aqil. Wafat di Tarim tahun 871 H.
10. As-Sayyid Ja`far. Wafat tahun 829 H.
11. As-Sayyid Ad-Dza iq Hasan. Wafat tahun 830 H. Ibunda mereka bernama Maryam binti Salim Al-Hudailiyah. Berasal dari daerah Asy-Syanahizah.
12. As-Sayyid Ibrahim. Wafat di Tarim tahun 875 H. Ibunda beliau bernama Uwaisyah binti Ali Balhaj.
13. As-Sayyid Husein. Wafat di Tarim tahun 892 H. Ibunda beliau bernama Asma` Fulana binti Ba Ubayd

Keagungan dan kemuliaan beliau
Maqam beliau Sayyidina As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff Ra adalah seorang wali yang bermaqam Qutb Al-Ghauts, satu derajat kewalian tertinggi. Beberapa riwayat yang berkaitan dengan masalah maqam ini akan kami kemukakan sebagian. As-Syĕkh Al-Jalil Al-‘Arif Muhammad bin Hasan Al-Mu’allim Ra berkata : “Telah datang kepadaku suatu sosok ghaib yang berkata, ’As-Syĕkh Abdurrahman adalah seorang Wali Qutb’.
Aku pun lalu berta’awwuz karena aku khawatir hal ini berasal dari syaithan, kemudian aku terdiam sesaat, setelah itu ia mendatangi diriku lagi dan berkata seperti tadi, lalu aku membaca ta’awwuz lagi, dan pada waktu ketiga kalinya ia mendatangi diriku kembali, ia berkata; ”Apakah engkau tidak mau membenarkan perkataanku bahwa As-Syĕkh Abdurrahman adalah seorang Qutb?” Riwayat yang lain berasal dari anak beliau sendiri yaitu; As-Syĕkh Al-Wali Badruddin Hasan bin As-Syĕkh Abdurrahman R.Anhuma, beliau berkata :
“Sekali waktu aku duduk berdua bersama ayahku di Masjid beliau pada tahun 814 H, beliau berbicara panjang lebar kepadaku dan di tengah perbincangannya, ayahandaku berkata kepadaku beliau telah memakai Qamiys Qutb selama dua puluh dua tahun dan selama itu beliau tidak pernah makan kecuali minum air dingin.”

Masjid As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff Ra
Didirikan oleh beliau pada th 768 H. Banyak diambil dari kesaksian para Wali bahwa Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff telah mencapai martabat Quthbiyyah. Dan telah menjadi ijma` sari seluruh wali, bahwasanya seluruh wali di masa itu berada di bawah panji beliau tanpa terkecuali. Salah seorang saudara Sayyidina As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff Ra bercerita : “Sungguh telah terjadi perselisihan antara diriku dan saudaraku, Abdurrahman As-Segaff. Sebenarnya perselisihan ini awalnya bermula hanya pada masalah harga dagangan kurma, hingga kemudian menimbulkan pemikiran pada diriku mengapa saudaraku itu bisa lebih tinggi derajatnya dari pada diriku? Aku berpuasa seperti dia berpuasa. Sholatnya pun sama dengan sholatku dan ayahanda kami juga satu. Selain itu tamuku juga lebih banyak dari tamunya. Akhirnya pada satu malam aku bermimpi, aku melihat suatu sosok yang bercahaya dan berkata kepadaku: “Apakah engkau berpikir derajatmu sama dengan saudaramu Abdurrahman?” aku pun menjawab, “Benar” kemudian cahaya tersebut berkata kepadaku, “Jalanlah bersamaku.”

‘Maka ia membawaku kepada saudaraku Abdurrahman. Dalam mimpiku itu aku mendapati seluruh tubuhnya diselimuti oleh cahaya, dan di setiap sendi tubuhnya tertulis dengan cahaya, surah Al-Ikhlas dan kalimat tauhid: Laa Ilaaha Illallah Muhammadar Rasulullah. Kemudian sosok bercahaya tersebut berkata kepadaku, “Jika engkau telah mencapai derajat seperti ini maka bolehlah engkau mengatakan dirimu lebih ataupun sama dengan saudaramu Abdurrahman.” Maka semenjak itu aku pun memandang saudaraku Abdurrahman lebih tinggi derajatnya daripada diriku.’” Para Wali Al-‘Arifin dan para ulama Al-Muhaqiqin menjuluki beliau dengan As-Segaff. Untuk menutupi keagungan hal beliau atas ahli zaman di kala itu sebagai kata isyarat yang makna seutuhnya hanya dimengerti oleh kaum Khawas dikarenakan beliau sendiri sangatlah membenci kemasyhuran.
Dengan segala kemuliaan yang telah Allah berikan kepada beliau, telah membuat dirinya tersohor kesegala penjuru negeri. As-Segaff yang dalam arti lughoh adalah bermakna “di atas” adalah mengandung pengertian kedudukan beliau adalah “di atas” seluruh para wali pada zaman itu secara keseluruhan tanpa terkecuali. Hal ini menyatakan bahwa maqom beliau adalah Qutb Al-Ghauts. Dan lazimnya setiap wali yang bermaqom seperti itu dalam perumpamaannya adalah bagaikan atap rumah yang menaungi para penghuni rumah, dalam hal ini rumah yang dimaksud adalah “wilayah” dan konteks yang dimaksud adalah apa yang disebut oleh kaum Sufi dengan “Tashrif Dairatul wilayah.” Atau semacam kedudukan rantai komando tapi dalam dunia kewalian. Pernah diriwayatkan oleh beberapa murid dari Al-Imam As-Segaff, sekali waktu para Wali di suatu daerah menyerahkan “tashrif wilayah” mereka kepada beliau, dengan membaiat beliau sebagai pemimpin mereka, kejadian ini mengisyaratkan bahwa para wali tadi menyerahkan kepemimpinan kewalian mereka kepada Al-Imam As-Segaff, dalam seluruh perkara kewalian pada saat seperti ini Al-Imam As-Segaff berlaku sebagai Ghust Al-Wali bagi mereka, kedudukan tinggi yang tidak bisa dianggap main-main, mengingat “Ghaust” lazimnya berlaku bagi kaum Awam, bisa dibayangkan bagaimana Ghaust bagi para Wali? Muhammad bin Hasan bin Abu Bakar berkata, “Ketika aku sedang tidur, aku mendengar suara dalam mimpiku yang berkata, Permata-permata adalah Sayyidina Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan anak beliau Sayyidina Alwi Al-Ghuyur dan anak beliau Ali dan anak beliau Muhammad bin Ali Maula Ad-Dawiylaih. Kemudian aku bertanya, ‘Lalu bagaimana dengan Abdurrahman As-Segaff’ dan suara itu menjawab, ‘Ia adalah permata dari segala permata.’”
Majelis beliau Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff mempunyai majlis yang masyhur dan selalu dihadiri para Wali dan para Rijal Al-Ghaib dari segala penjuru dunia. Ada satu riwayat yang bercerita bahwa beliau sekali waktu pernah didatangi seorang lelaki asing di tengah Majlis beliau yang tiba-tiba berkata kepada beliau :

“Kenapa engkau membuka rahasia hakekat kepada khalayak ramai?” kemudian dijawab oleh beliau, Lalu bertanya murid beliau yang bernama Al-Imam Al-Wali Abu Bakar bin Alwi As-Syaibah, ”Bagaimanakah ciri laki-laki tersebut?”. Al-Imam As-Segaff lalu memberikan ciri laki-laki yang berbicara kepada beliau itu yang kemudian dijawab kembali oleh Al-Imam Abu Bakar Asy-Syaibah, “Hazihi shifatul ghozali yujizuka bitakallamu `alan naas.” (Ini adalah Al-Imam Al-Ghozali dan banyak yang telah menyaksikan bahwa yang belajar pada beliau adalah para ahli al-kasyaf yaitu para Wali Allah dan Arrijalul Ghoib.) Al-Arif Billah Muhammad bin Ali Azzubaidi meriwayatkan: “Aku telah menyaksikan sendiri bahwa As-Syĕkh Abdul Qodir Al-Jaelani telah membaca Al-Miatain di hadapan Sayyidina As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff. Dan aku telah menyaksikan sendiri Al-Imam Al-Ghozali membaca kitabnya yang terkenal yaitu kitab Al-Ihya di depan Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff.”
Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff, pada awalnya kurang menyukai majlis Sima`. Kemudian karena selalu menghadiri majlis Sima` maka akhirnya beliau mencintai majlis tersebut. Sayyidina As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff Ra, bila tengah mendapatkan waridan, maka akan terlihatlah hāl beliau yang luar biasa di tengah khalayak ramai, sehingga terlihatlah dengan jelas kemuliaan beliau di sisi Allah SWT, terkadang para hadirin yang kala itu mendengarkan perkataan beliau pun, juga akan mendapatkan haibah yang agung karena mendengarkan perkataan beliau.
Sekali waktu, tatkala seorang saudara beliau yang bernama As-Syĕkh Ali meninggal dunia, Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff merasakan kesedihan yang mendalam hingga beliau meninggalkan majlis sima` ini sampai beberapa waktu. Kemudian ketika beliau kembali mengadakan majlis sima`, beliau berkata mengenai hal itu, “Kami menginginkan meninggalkan hal tersebut, tetapi sima` tidak meninggalkan kami.”

Hadhrah As-Segaff
Dalam setiap kesempatan di Majlis beliau, setelah sholat Isya pada setiap malam Kamis dan Senin, biasanya dibacakan beberapa Nasyid kaum sufi yang diiringi dengan beberapa alat musik seperti rebana dan seruling. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh Sayyidina As-Syĕkh Al-Kabir Ahmad bin Husein Al-‘Aidrus dengan mengajak beberapa ahli pembaca Nasyid dari Mesir dan ‘Iraf. Dan ritual atau kebiasaan ini masih berlangsung hingga sekarang terhitung sudah berjalan selama lebih kurang 600 tahun Alat musik seruling peninggalan dari zaman Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff Ra yang masih digunakan sampai sekarang.

Pembacaan Hadhrah di Masjid
Perkataaan para Wali Allah mengenai beliau As-Syaikhah Al-‘Arifah As-Sayyidah Sulthanah binti Ali Az-Zubaidy R.Anha mengisahkan : “Bilamana As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff hendak datang ke tempat kami maka aku akan melihat, sesaat sebelum kedatangan beliau, tempat kami dan sekitarnya ditumbuhi oleh rumput yang menghijau seolah-olah tanaman tersebut tumbuh di tempat subur yang banyak airnya, kemudian setelah itu aku mendengar suara:
“Telah datang kepada kalian seorang sulthan anak dari seorang sulthan.” Tubuh dari Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff selalu mengeluarkan aroma yang sangat harum walau tanpa diberi wewangian, maka bilamana beliau masuk ke satu rumah, maka orang pun akan tahu bahwa rumah tersebut pernah disinggahi oleh Sayyidina Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff karena bau wangi yang masih melekat pada rumah tersebut. Begitu juga bila beliau berjalan, maka orang-orang pun akan tahu bahwa jalan tersebut pernah dilalui oleh Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff, karena masih terciumnya aroma wangi dari Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff. Mengisyaratkan hal ini, murid beliau yaitu As-Syĕkh Abdurrahman Al-Khotib berkata di dalam syi`irnya : Lidah Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff tidak pernah putus di dalam zikrullah.
Begitu juga hati beliau yang selalu mengingat Allah dalam siang maupun malam. Banyak murid-murid beliau yang mendengar suara zikir yang berasal dari hati beliau, terdengar hingga keluar oleh orang banyak. Dan semua ulama dan wali besar di zaman itu telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, bahwa dari setiap sendi-sendi tubuh Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff hingga rambut dan kulit beliau, sering kali terdengar suara dalam berzikir kepada Allah SWT.

Kisah-kisah kekeramatan As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff
Mengenai kekeramatan Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff, seorang murid beliau yang bernama As-Syĕkh Abdurrahman bin Muhammad Al-Khotib telah banyak menceritakan di dalam kitab Al-Jauhar As-Syafaf sebanyak lebih kurang 100 hikayat mengenai kekeramatan dan ahwal beliau yang sangat luar biasa. Di dalam bukunya tersebut As-Syĕkh Abdurrahman Al-Khotib berkata : “Bilamana beliau mendoakan seorang gadis maka gadis itu pun akan menikah, dan bilamana beliau mendoakan bagi perempuan yang mandul maka perempuan yang mandul itu pasti melahirkan seorang anak.
Dan bilamana Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff mendoakan seorang yang miskin itu dengan kekayaan, maka si miskin tersebut pasti dikayakan oleh Allah SWT, dan bilamana As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff berdoa untuk orang yang bermaksiat agar bertaubat, maka mereka pun akan bertaubat dan bilamana As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff mendoakan seorang yang bodoh agar menjadi pintar maka orang itu akan dibukakan hatinya oleh Allah SWT untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.”

Sebagian kecil dari kisah kekeramatan Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff R.a adalah sebagai berikut :

1. Sayyidina As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff ber- Tajazzu Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff, seringkali terlihat di banyak tempat dalam satu waktu yang bersamaan. Selain itu pernah disaksikan oleh banyak orang bahwa beliau menghilang sekejap dari baju beliau namun kemudian dalam sekejap itu pula beliau kembali lagi, sebelum baju beliau sempat jatuh ke tanah. Sekali waktu Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff berniat akan melakukan ibadah haji ke Masjidil Haram dan di dalam niatnya beliau bertekad untuk tinggal di sana selama-lamanya, semata-mata hanya untuk beribadat dan bertasbih memuji Allah SWT, dan tidak akan pulang lagi ke Hadhramaut. Tetapi di tengah perjalanan menuju ke Masjidil Haram, beliau bertemu dengan Rasulullah SAW bersama para sahabat dan beberapa Wali, termasuk di dalamnya adalah ayahanda beliau yaitu Sayyidina As-Syĕkh Muhammad Maula Ad-Dawilaih. Mereka semua meminta kepada Sayyidina Al-Imam As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff agar mengurungkan niat beliau tersebut dan pulang ke Hadhramaut. Mereka berkata: “Sesungguhnya maqommu lebih bermanfaat di Hadhramaut.” Maka beliau pun pulang tanpa pernah melakukan ibadah haji. Tetapi anehnya, banyak orang yang melihat beliau berada di Mekkah setiap tahunnya menunaikan ibadah haji. Sehingga banyak orang yang merasa bingung dan bertanya kepada beliau, “Apakah anda telah melakukan haji?”, dan beliau menjawab, “Kalau dalam keadaan zhohir tidak pernah.”

2. Makanan yang tidak diketahui asalnya. Berkata murid beliau Sayyidina Al-Wali Muhammad bin Hasan Jamalullail: “Suatu ketika aku sedang berada di masjid Jami’ As-Syĕkh Abdurrahman As-Segaff, dan pada waktu itu aku dalam keadaan lapar. Beliau sendiri terlihat sedang duduk di tengah-tengah masjid, kemudian beliau memanggilku dan tiba-tiba di samping beliau terdapat makanan yang lezat yang membuatku terheran-heran, lalu aku bertanya kepada beliau, ‘Siapakah yang mengantarkan makanan ini?’ dan beliau menjawab, ‘Pelayan perempuan.’ Padahal tidak ada satu orang pun yang kulihat memasuki masjid, hingga aku memperhatikan sekeliling masjid sekali lagi, tapi memang tidak ada satu orang pun yang kulihat.” Kejadian ini mengingatkan kita seperti kejadian Siti Maryam ketika mendapatkan buah-buahan di Mihrabnya dan membingungkan Nabi Zakaria AS yang melihatnya. Kejadian ini adalah pembuktian benarnya sabda Baginda Rasul Allah SAW yang menjelaskan kemuliaan umatnya; bahwa Ulama umat Nabi Muhammad SAW menyamai derajat para Nabi Bani Israil .

Beliau wafat di kota Tarim pada hari Kamis, 23 Sya’ban tahun 819 H (1416 M). Ketika mereka hendak memalingkan wajah beliau ke kiblat, wajah tersebut berpaling sendiri ke kiblat. Jasad beliau disemayamkan pada pagi hari Jum’at, di pekuburan Zanbal,Tarim.

Minggu, 15 Mei 2011

Al Habib Abdul Qadir bin Alwy Assegaf

http://alkisah.web.id/wp-content/uploads/2011/03/makam-habub-abdulqadir.png


Angin Segar dari Kota Tuban
Auliya’ ini dikenal banyak membawa angin segar bagi umat, terutama di kota Tuban dan sekitarnya. Para auliya’ di jamannya banyak memuji dan mengagungkan beliau
Sosok Habib Abdul Qadir dalam kesehariannya dikenal sebagai pribadi yang ramah tamah, murah senyum dan dermawan. Semua orang yang mengenalnya, pasti akan mencintainya. Tidak heran bila para auliya’ di jamannya banyak memuji dan mengagungkan beliau. Salah satunya, Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, beliau selalu mengunjungi semasa hidup mau pun sesudah wafatnya. Wali Kramat dari Empang, Bogor itu bersyair dengan pujian,”Telah bertiup angin segar dari Kota Tuban….” Auliya lain yang sering mengunjunginya adalah Habib Ahmad bin Abdullah Alattas, Pekalongan dan Habib Abdul Qadir bin Quthban.
Habib Abdul Qadir bin Alwy As-Segaf dilahirkan di Seiwun pada tahun 1241 H. Sejak kecil ia telah dididik secara khusus oleh paman beliau, Habib Abdurrahman bin Ali Assegaf. Oleh sang paman, Habib Abdul Qadir selalu diajak berziarah ke tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggalnya di Seiwun. Dalam berziarah ke tempat para auliya’, ia pun pernah menyaksikan kejadian yang menakjubkan hatinya, yakni saat berziarah ke makam Syaikh Umar Ba Makhramah. Dimana, Habib Abdurrahman ketika di dalam kubah makam Syaikh Umar Ba Makhramah, tiba-tiba Syaikh Umar bangun dari kuburnya dan bercakap-cakap dengan Habib Umar. Habib Abdul Qadir menyaksikan kejadian itu secara yaqadzah (terjaga, bukan melalui mimpi).
Habib Abdul Qadir dikenal sejak usia remaja berteman akrab dengan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Sahibul Maulid Simthud Durar) dan Habib Abdullah bin Ali Al-Hadad (Sahibur Ratib Hadad). Bahkan di akhir umur Habib Abdullah Al-Hadad pernah berkirim surat kepada Habib Abdul Qadir yang diantaranya berisi,”Sesungguhnya jiwa-jiwa itu saling terpaut.” Tidak lama setelah itu Habib Abdullah bin Ali Al-Hadad wafat, 27 hari kemudian Habib Abdul Qadir juga wafat. Beliau juga mempunyai hubungan yang istimewa dengan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya) dan Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdar (Bondowoso).
Kedekatan hubungan Habib Abdul Qadir dengan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi tidak lepas dari kejadian menimpa Habib Muhammad yang sering kali tidak bisa menguasai diri ketika kedatangan hal (keadaan luar biasa yang meliputi seseorang yang datang dari Allah SWT). Dalam keadaan seperti itu Habib Muhammad tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya.
Suatu saat Habib Muhammad kedatangan hal ketika sedang berjalan, kebetulan saat itu Habib Abdul Qadir sedang berada di dekatnya. Melihat keadaan Habib Muhammad yang hampir tidak sadarkan diri, Habib Abdul Qadir segera menyadarkannya, sehingga Habib Muhammad pun sadar dan melihat Habib Abdul Qadir telah berada di depannya. Mereka berdua akhirnya berpelukan,”Ini adalah sebaik-baik obat,”kata Habib Muhammad dengan raut wajah yang gembira. Sejak itulah, hubungan Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi dan Habib Abdul Qadir semakin erat dan saking dekatnya, Habib Muhammad menyatakan bahwa menceritakan tentang keadaaan Habib Abdul Qadir lebih manis dari madu. Kecintaan itu juga oleh Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi diungkapkan dalam syair:
Wahai malam yang penuh cahaya
Semua permintaan telah terkabul
Hari ini aku datang ke Tuban di awal bulan
Putra Alwi yang kucintai

Kelezatannya tiada bandingan
Dia lah pintu masuk dan pintu keluar kita
Obat bagi yang kena segala penyakit
Dari hatinya memancar rahasia sempurna
Semoga dengan berkahnya, dosa dan salah kita diampuni

Pernah suatu ketika Habib Abdul Qadir dalam perjalanan pulang dari haji bersama rombongan dengan mempergunakan perahu. Ternyata perahu yang dinaikinya berlubang, air pun masuk menerobos dengan deras ke dalam perahu. Orang-orang panik dan segera mengurasnya. Tapi, air yang masuk bukan semakin habis, malah semakin banyak dan memenuhi seluruh perahu hingga hampir tenggelam. Keringat dan air laut berpadu membasahi pakaian yang dikenakan mereka yang tengah berusaha dengan keras menguras air dalam perahu. Para penumpang menangis karena putus asa.
Melihat hal itu Habib Abdul Qadir segera masuk ke dalam bagasi kapal beserta dua isterinya. Setelah menutup pintu beliau berdoa sambil mengangkat tangannya memohon kepada Allah. Tiba-tiba datanglah empat orang lelaki yang telah berdiri di hadapannya, kemudian salah satunya menepuk punggungnya.”Hai Abdul Qadir! Aku Umar Muhadar,”katanya sambil memperkenalkan tiga orang yang ada disebelahnya,”Ini kakekmu, Alwi bin Ali bin Al-Faqih Al-Muqaddam. Itu kakekmu, Abdurrahman Assegaf dan yang itu Syaikh Abu Bakar bin Salim.”
Setelah itu lelaki tersebut menyuruh Habib Abdul Qadir menguras air dan keempat lelaki asing itu pun lalu menghilang.“Apakah kalian melihat empat orang tadi?” tanya Habib Abdul Qadir kepada kedua isterinya.“Tidak,” jawab mereka.
Habib Abdul Qadir segera keluar dan menyuruh para penumpang untuk menguras kembali air laut yang masuk ke dalam perahu. Tak berapa lama kemudian, perahu besar itu sudah tidak berisi air lagi. Ternyata lubang tadi telah lenyap, papan-papannya tertutup rapat seakan tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Dikisahkan pula, suatu malam Habib Abdul Qadir bermimpi, dalam mimpinya ia bertemu Nabi SAW tengah menuntun Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr. Lalu Nabi SAW menyuruhnya membaca Doa Khidir AS sebanyak 50 kali setiap pagi dan sore. Habib Abdul Qadir merasa bilangan itu terlalu banyak. Ia ingin agar Habib Hasan memintakan keringanan untuknya, belum sempat diutarakan, Nabi SAW bersabda,”Bacalah sebanyak lima kali saja, tetapi pahalanya tetap 50.” Gambaran ini persis seperti lafadz barjanji ketika mengisahkan Isra’ Mi’raj. Seketika itu, Habib Abdul Qadir terjaga dari tidurnya dan membaca doa Nabi Khidir dari awal sampai akhir, padahal dia belum pernah tahu doa tersebut sebelumnya.
Ia lalu mencari teks doa itu dan menemukannya di kitab Maslakul Qarib, tetapi di sana ada tambahan dan pengurangan. Sampai akhirnya ia menemukan teks yang sama persis di kitab Ihya’ juz 4 dalam bab Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Imam Ghozali menyebutkan faedah dan pahala yang sangat banyak dalam doa ini. Jelaslah bahwa itu termasuk salah satu karamah Habib Abdul Qadir, sebab ia hafal doa yang cukup panjang hanya dengan dituntun Nabi Muhammad SAW. Dalam khasanah dunia pesantren, cara menghafal demikian disebut ilmu paled! atau apal pisan langsung wuled(sekali dengar langsung hafal).
Ketika ia sakit di akhir umurnya, salah seorang putranya yang bernama Umar mengusahakan kesembuhan dengan cara bersedekah atau yang lainnya. Ketika Habib Abdul Qadir tahu, ia langsung berkata,”Jangan merepotkan diri, karena Malaikat Maut sudah dua atau tiga kali mendatangiku.”
Dalam sakit itu pula ia sering menyambut kedatangan ahlil ghaib di tengah malam dan berbincang-bincang dengan mereka. Kejadian tersebut berlangsung hampir setiap malam, sampai suatu saat ditemukan secarik kertas di dekatnya yang bertuliskan syair,”Telah datang pada kami, Shohibul Waqt, Khidir dan Ilyas. Mereka memberiku kabar gembira seraya berkata,’Kau dapatkan hadiah serta pakaian. Jangan takut! Jangan khawatir dengan kejahatan orang yang dengki, serta syaitan’.”
Tidak lama setelah itu, ia meninggalkan alam yang fana ini tepatnya pada tanggal 13 Rabiul Awal 1331 H (1912 M). Jasadnya yang suci kemudian dimakamkan di pemakaman Bejagung, Tuban. Haul Habib Abdul Qadir biasanya diperingati pada bulan Sya’ban di Jl Pemuda, Tuban.

biodata al walid al habib abdurrahman bin ahmad bin abdul qadir assegaf

Nasab Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf


Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.

Habib Abdurrahman ahir tahun 1908 di Cimanggu; beliau adalah putra Habib Ahmad bin AbdulQadir Assegaf. Ayahandanya sudah wafat ketika beliau masih kecil.tapi kondisi itu tidak menjadi halangan baginya untuk giat belajar.
Pernah mengenyam pendidikan di Jami'at Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat memperihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya,Habib Ali bin Abdurrahman "Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata, "Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu". Tidurnya pun di bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar."
Ketika masih belajar di Jami'at Al-Khair, prestasinya sangat cemerlang. Beliau selalu menempati peringkat pertama. Nilainya bagus, akhlaqnya menjadi teladan teman-temannya. Untuk menuntut ilmu kepada seorang ulama, beliau tak segan-segan melakukannya dengan bersusah payah menempuh perjalanan puluhan kilometer. "Walid itu kalau berburu ilmu sangat keras. Beliau sanggup berjalan berkilo-kilo meter untuk belajar ke Habib Abdullah bin Muhsin Al-Aththas ( Habib Empang Bogor ),"
Selain Habib Empang, guru-guru Habib Abdurrahman yang lain adalah Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad ( Mufti Johor, Malaysia ), Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir AlHaddad, Habib Ali bin Husein Al-Aththas ( Bungur, Jakarta ), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi ( Kwitang, Jakarta ), K.H.Mahmud ( Ulama besar Betawi ) dan Prof.Abdullah bin Nuh ( Bogor ).
Semasa menunutut ilmu, Habib Abdurrahman sangat tekun dan rajin, itulah sebabnya beliau mampu menyerap ilmu yang diajarkan guru-gurunya. Ketekunannya yang luar biasa mengantarnya menguasai semua bidang ilmu agama. Kemampuan berbahasa yang baguspun mengantarnya menjadi penulis dan orator yang handal. Beliau tidak hanya sangat menguasai bahasa Arab, tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus.
Habib Abdurrahman tidak sekadar disayang oleh para gurunya, tapi lebih dari itu, beliau pun murid kebanggaan. Beliaulah satu-satunya murid yang sangat menguasai tata bahasa Arab, ilmu alat yang memang seharusnya digunakan untuk memahami kitab-kitab klasik yang lazim disebut "kitab kuning". Para gurunya menganjurkan murid-murid yang lain mengacu pada pemahaman Habib Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan pemahaman dari segi tata bahasa.
Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Disinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin menyala. Beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik ( dari seruling sampai terompet ), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Belakangan, ketika berusia 20 tahun, beliau pindah ke Bukit Duri dan berbekal pengalaman yang cukup panjang, beliaupun mendirikan madrasah sendiri, Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, yang hingga sekarang masih eksis di Bukit Duri, Jakarta. Sebagai madrasah khusus, sampai kini Tsaqafah Islamiyah tidak pernah merujuk kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, mereka menerapkan kurikulum sendiri dan uniknya, Madrasah ini menggunakan buku-buku terbitan sendiri yang disusun oleh sang pendiri, Habib Abdurrahman Assegaf.. Disini, siswa yang cerdas dan cepat menguasai ilmu bisa loncat kelas.
Dunia pendidikan memang tak mungkin deipisahkan dari Habib Abdurrahman, yang hampir seluruh masa hidupnya beliau baktikan untuk pendidikan. Beliau memang seorang guru sejati. Selain pengalamannya banyak, dan kreativitasnya dalam pendidikan juga luar biasa, pergaulannya pun luas.terutama dengan para ulama dan kaum pendidik Jakarta.
Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai berbagai disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyak guru. Sebab ilmu yang dimilikinya tidak dapat diwariskan.
"Beliau konsisten dan tegas dalam mendidik anak. Beliau juga menekankan bahwa dirinya tidak mau meninggalkan harta sebagai warisan untuk anak-anaknya. Beliau hanya mendorong anak-anaknya agar mencintai ilmu dan mencintai dunia pendidikan. Beliau ingin kami konsisten mengajar, karenanya beliau melarang kami melibatkan diri dengan urusan politik maupun masalah keduniaan, seperti dagang, membuka biro haji dan sebagainya. Jadi, sekalipun tidak besar, ya....sedikit banyak putra-putrinya bisa mengajar," kata Habib Umar merendah.
Habib Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang; diantaranya Habib Muhammad, pemimpin pesantren di kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib Alwi, memimpin Majlis Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri; Habib Umar, memimpin pesantren dan Majlis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukit Duri dan Habib Abu Bakar, memimpin pesantren Al-Busyro di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan orang.
Sebagai Ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari Tauhid, Tafsir, Akhlaq, Fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu dan Sunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain, Hilyatul Janan fi Hadyil Qur'an, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bunyatul Umahat dan Buah Delima. Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas dan memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah Tsaqafah Islamiyyah.
Habib Abdurrahman juga dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin, sederhana dan ikhlas. Dalam hal apapun beliau selalu mementingkan kesederhanaan. Dan kedisiplinannya tidak hanya dalam hal mengajar, tapi juga dalam soal makan. "Walid tidak akan pernah makan sebelum waktunya. Dimanapun ia selalu makan tepat waktu." Kata Habib Ali.
Mengenai keikhlasa dan kedermawanannya, beliau selalu siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Pada tahun 1960-an, Habib Abdurrahman menga;lami kebutaan selama lima tahun. Namun musibah itu tak menyurutkan semangatnya dalam menegakkkan syiar islam. Pada masa-masa itulah beliau menciptakan rangkaian syair indah memuji kebesaran Allah swt dalam sebuah Tawasul, yang kemudian disebut Tawasul Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Sebagai Ulama besar, Habib Abdurrahman juga dikenal memiliki karomah. Misalnya, ketika beliau membuka Majlis Taklim Al-Buyro di Parung Banteng Bogor sekitar tahun 1990, sebelumnya sangat sulit mencari sumber air bersih di Parung Banteng Bogor. Ketika membuka majlis Taklim itulah, Habib Abdurrahman bermunajat kepada Allah swt selama 40 hari 40 malam, mohon petunjuk lokasi sumber air. Pada hari ke 41, sumber belum juga ditemukan. Maka Habib Abdurrahman pun meneruskan munajatnya.
Tak lama kemudian, entah darimana, datanglah seorang lelaki membawa cangkul. Dan serta merta ia mencangkul tanah dekat rumah Habib Abdurrahman. Setelah mencangkul, ia berlalu dan tanah bekas cangkulan itu ditinggal, dibiarkan begitu saja. Dan, subhanallah, sebentar kemudia dari tanah bekas cangkulan itu merembeslah air. Sampai kini sumber air bersih itu dimanfaatkan oleh warga Parung Banteng, terutama untuk keperluan Majelis Taklim Al-Busyro. Menurut penuturan Habib Abdurrahman, lelaki pencangkul itu adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Wafatnya Habib Abdurrahman Assegaf

Suatu hari, seorang santri Darul Musthafa, Tarim Hadramaut, asal Indonesia, mendapat pesan dari seoranh ulama besar disana, Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi Syahab. "Saya mimpi bertemu Rasulullah SAW, tapi wajahnya menyerupai Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong beritahu anak-anak beliau di Indonesia. Katakan, mulai saat ini, jangan jauh-jauh dari walid ( orang tua )."
Sang santri itu langsung menelepon keluarganya di Indonesia. Hingga akhirnya kabar dari ulama Hadramaut itu diterima keluarga Habib Abdurrahman di Bukit Duri Jakarta.
Seminggu kemudian, apa yang diperkirakan itu pun tiba. Tepatnya Senin Siang jam 12.45, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 rabiul Awal 1428 H, langit Jakarta seakan mengelam. Kaum muslim ibu kota terguncang oleh berita wafatnya Al-Alamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman Assegaf, dalam usia kurang lebih 100 tahun.
Jenazah ulama besar yang ilmu, akhlaq dan keistiqamahannya sangat dikagumi itu, disemayamkan di ruang depan rumahnya yang bersahaja, tepat di sisi Sekretariat Yayasan Madrasah Tsaqofah Islamiyah, di jln. Perkutut no.273, Bukit Duri Puteran , Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat tahlil dan pembacaan Surat Yaa siin bergema sepanjang hari sampai menjelang pemakamannya keesokan harinya. Sebuah tenda besar tak mampu menampung gelombanh jemaah yang terus berdatangan bak air bah. Pihak keluarga memutuskan pemakaman akan dilakukan ba'da zhuhur di pemakaman Kampung Lolongok, tepatnya di belakang Kramat Empang.
Acara pelepasan jenazah dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga, yang diwakili Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Dengan nada sendu, pengasuh Majlis Taklim Al-Affaf itu mengucapkan terima kasih kepada para pecinta Habib Abdurrahman Assegaf yang telah datang bertakziah dan membantu proses pengurusan jenazah. Selanjutnya putra kedua Habib Abdurrahman tersebut mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum."Beliau rindu kepada Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa rindu itu lewat sholawat-sholawat yang tak pernah lepas dari bibirnya setiap hari." Katanya.
Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan pun mulai sesunggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara, tampil dengan suara bergetar.
"hari ini, tidak seperti hari-hari yang lalu, kita berbicara tentang bagaimana memelihara anak yatim. Tapi, kali ini, kita semua menjadi anak-anak yatim." Kata Habib Ali, yang mengibaratkan hadirin sebagai anak yatim. Betapa tidak, Habib Abdurrahman dianggap sebagai orang tua tidak hanya oleh keluarganya, tapi juga oleh jamaah. Semasa hidupnya, beliau senantiasa mengayomi, membimbing dan setia mendengar keluh kesah jamaah. Tapi kini, sang pelita itu telah pergi. Sebagian hadirin terguguk menangis, bahkan ada yang histeris.
"Kepergian Walid sudah diramal jauh-jauh hari. Suatu hari beliau pernah berkata kepada saya, "Umimu dulu yang bakal berpulang kepada Allah swt, setelah itu baru saya. Dan benarlah, ibunda Hj.Barkah ( istri Walid ) berpulang sekitar tujuh bulan yang lalu, tepatnya pada 26 Juli 2006. wali juga pernah berkata kepada keluarga, "Saya pulang pada hari senin, kasih tahu saudara-saudaramu."
Jam 12.00, jenazah disholatkan di depan kediaman Walid, dengan Imam, Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Haddad 9 Al-Hawi Condet ). Pada hari itu juga, besan Habib Abdurrahman, Syarifah Rugayah binti Muhammad bin Ali Al-Attas juga wafat.
Pukul 13.00, iring-iringan jenazah mulai bergerak menuju Empang Bogor, melalui jalan Tol Jagorawi. Ribuan kendaraan mengiringi ambulance yang membawa jenazah.
Disaat mobil jenazah yang didihului dua mobil pengawal dari kepolisian mendekati pintu makam pukul 16.15, konsentrasi massa yang terpusat disitu luar biasa banyaknya. Suasana pun menjadi agak gaduh. Maka setelah jenazah dikeluarkan dari mobil ambulance dan dibawa menuju liang lahat sekitar 30 meter dari pintu masuk, suasana penuh kesedihan sungguh sangat terasa. Banyak yang tak kuasa menahan tangis.
Segera setelah itu, jenazah dimasukkan ke liang lahat sambil terus diiringi dzikir yang tak henti dari para jemaah.
Mewakili Shohibul bait, Habib Hamid bin Abdullah al-Kaff, pengasuh pondok pesantren Al-Haramain Asy-Syarifain Pondok Ranggon Cipayung, memberikan tausiyah, "Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam lampu yang sangat besar, yang menerangi kota Jakarta," katanya.
"Beruntunglah murid-muridnya yang telah menimba ilmu pada almarhum. Ingatlah selalu pesan almarhum, saya sering mendengar pada acara haul, kalau saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah mengirimkan fatihah untuk saya.' Maka marila dalam pembacaan Fatihah-fatihah yang biasa kita baca, kita kirim untuk almarhum."

Al Kisah No.16/tahun II/2-15 Agustus 2004 , No. 19 / Tahun IV / 11 – 24 September 2006 & No.8 / Tahun V / 9 – 22 April 2007.